Jumat, 06 April 2012

Perempuan dalam kungkungan Budaya Patriarchy

Perempuan dalam kungkungan Budaya Patriarcy
Oleh : Yestik Arum*
Dalam bukunya Asghar Ali Engineer, “Matinya Perempuan: Menyikap Megaskandal Doktrin dan Laki- laki” mengungkapkan bahwa, Hak – hak asasi perempuan telah mencapai tingkat signifikansi yang tinggi di era modern pada umumnya dan di dunia Islam pada khususnya. Secara historis, perempuan selalu berada di bawah laki- laki atau yang disebut dengan makhluk ‘the second sex’. Namun, setelah Perang Dunia Kedua, proses liberalisasi perempuan mengalami perubahan yang sangat cepat.
Gerakan pembebasan perempuan di Eropa dan Amerika pada awal tahun 60-an, merupakan awal sejarah baru bagi pembebasan perempuan. Pasca Perang Dunia Kedua, berakibat berkurangnya tenaga laki – laki yang bisa dipekerjakan, oleh karenanya perempuan dipekerjakan pula di sektor publik. Hal inilah merupakan awal perempuan sadar bahwa mereka tidak hanya mampu melakukan pekerjaan domestik, akan tetapi juga mampu masuk dalam ranah publik.
Perempuan di era sekarang atau disebut era modern, telah mengalami banyak pergeseran, baik yang menyangkut paradigmanya maupun nilai – nilai yang dulu ada di masyarakat. Dahulu Pra Islam, perempuan hampir tidak mempunyai nilai dan hanya dijadikan alat pemuas seksual. Akan tetapi setelah hadirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, perempuan menjadi terangkat nilai dan martabatnya. Dalam Islampun sangat menghargai wanita. Banyak ayat – ayat al-Qur’an yang jelas memuliakan perempuan. Dari hal ini lahirlah tokoh – tokoh perempuan yang memperjuangkan akan hak – haknya. Di Islam dikenal Siti Khodijah, Siti Aisyah, Ummu Waraqah. Sedangkan zaman sebelum kemerdekaan dikenal juga R.A Kartini, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lainnya para pejuang perempuan.
Seiring berkembangnya teknologi, peran perempuan sangat dinantikan. Ia mampu menjadi figur Ibu yang mendidik anaknya, mampu menjadi seorang Istri yang saling menguatkan bersama suami dalam menjani kehidupan rumah tangga, dan mampu berkontribusi di masyarakat dalam mengemban tanggungjawab sosial. Meskipun begitu menjadi seorang perempuan atau laki – laki memang bukan pilihan kita sendiri, akan tetapi semua telah menjadi pemberian, tinggal bagaimana kita dapat memainkan peran baik peran yang bersifat pribadi di lingkungan keluarga maupun peran sosial di lingkungan masyarakat. Karena sejatinya Allah SWT menciptakan perempuan dan laki- laki untuk saling melengkapi. Oleh karena itu di Era Modern ini kaum perempuan harus sadar hak dan tanggungjawabnya, jangan sampai tertindas oleh kaum laki – laki atau menindas kaum laki- laki, akan tetapi menjadi mitra laki- laki sebagai terwujudnya tatanan masyarakat yang menghargai perempuan.
Saat ini budaya Patriarchy yang telah mengakar kuat, harus dihilangkan. Perempuan di era modern, mampu tampil sebagai manusia yang memiliki ketangguhan dan kecerdasan. Bukan malah, selalu dalam bayang –bayang ketidakberdayaan. Justru perempuan harus menyadari hak dan tanggungjawabnya. Jika laki – laki dan perempuan saling memahami hak dan tanggungjawabnya, dipastikan tidak akan terjadi diskriminasi terhadap perempaun. Hal ini masih sangat terasa di masyarakat misalnya yang pantas menjadi kepala Negara daerah masih didominasi kaum laki- laki. Padahal, pada dasarnya semua orang bisa menjadi seorang pemimpin asal memiliki kemampuan memimpin, tidak peduli apakah Ia laki – laki atau perempuan. Tapi pada faktanya masih sedikit sekali perempuan yang tampil menjadi seorang pemimpin.
Asumsi perempuan lebih mengandalkan perasaan dan laki – laki lebih rasional, perlu dikaji lagi. Karena, antara perasaan dan rasional tidak dapat berdiri sendiri, yang artinya perempuan dan laki- laki memiliki kesempatan yang sama di dalam ranah publik. Tidak serta merta laki – laki yang lebih rasional mampu untuk memimpin sedangkan perempuan hanya bertugas dalam ranah domestik. Perempuan mampu menjadi pilar suatu bangsa, seperti dalam pernyataan “Masa Depan Suatu Bangsa Terletak Pada Perempuan, Jika Perempuannya Baik, maka Bangsa Akan Baik. Akan tetapi, jika Perempunnya Rusak, maka Rusaklah Bangsa itu”. Sudah saatnya perempuan mulai bangun dari kungkungan dogma – dogma yang menghambat gerak perempuan. Sehingga perempuan tidak hanya berada dalam ranah domestik, tetapi juga mampu berkontribusi di ranah publik, menjadi mitra laki- laki yang tentunya antara laki – laki dan perempuan saling melengkapi dan membutuhkan.
Kata  patriarcy berasal dari bahahasa yang artinya budaya kebapakan, maksutnya semua yang menjadi kesepakatan dari pihak laki- laki, perempuan hanya mengikutinya tanpa ada hak untuk ….bagaimanpun juga budaya ini menjadi budaya yang mendapat legitimasi dari Sudah sepantasnya perempuan harus berani ke luar dari kunkungan budaya patriarcy yang telah mengakar kuat di masyarakat. Jika hal ini dapat
*Pegiat Wacana Keperempuanan dan Ketua Umum Library Student Community Fakultas Dakwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar